Batamxinwen, Jakarta – Terdakwa Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan merampas nyawa Nofriansyah Yoshua Hutabarat secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tuntutan hukuman itu lebih berat dari tuntutan jaksa terhadap terdakwa lainnya yaitu Putri Candrawathi, Kuat Maruf, dan Ricky Rizal.
Jaksa menyebut hal yang memberatkan terdakwa Richard karena dia merupakan eksekutor yang membuat hilangnya nyawa Yosua dan perbuatannya itu telah membuat duka mendalam bagi keluarga korban serta membuat kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa meskipun pelaku tapi bekerjasama untuk membongkar kejahatan tersebut. Richard juga belum pernah dihukum, bersikap sopan, dan kooperatif.
Terdakwa juga telah menyesali perbuatannya dan telah dimaafkan oleh keluarga korban.
“Meminta majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan perintah terdakwa tetap ditahan dengan dipotong masa penangkapan,” ujar jaksa di PN Jakarta Selatan, Rabu (18/01).
Mendengar tuntutan itu, para pendukung Richard yang hadir di ruang sidang langsung berteriak dan menyoraki jaksa sehingga Majelis hakim harus menskors persidangan untuk beberapa menit.
Sementara itu Richard yang mendengar tuntutan itu nampak terkejut dan tertunduk. Ia pun menangis dengan wajah menunduk.
Menanggapi tuntutan itu, kuasa hukum terdakwa Richard menyatakan bahwa tuntutan tersebut telah melukai rasa keadilan. Karena itu tim penasihat bersama terdakwa akan mengajukan nota pembelaan atau pledoi satu minggu ke depan.
‘Meskipun membongkar kejahatan, tapi tidak bisa menghapus pertanggung jawaban terdakwa’
Dalam uraian tuntutannya, jaksa mengatakan terdakwa Richard Eliezer sudah mengetahui keinginan Ferdy Sambo merampas nyawa Yosua berdasarkan cerita Putri Candrawathi yang belum diketahui kebenarannya.
Di rumah dinas Ferdy Sambo di Jalan Saguling, Mampang, jenderal bintang dua itu mengutarakan niat jahatnya untuk merampas nyawa Yosua kepada Richard dengan berkata: ‘Kamu berani tembak Yosua?’ ujar jaksa.
Terdakwa, sambung jaksa, menjawab: ‘Siap komandan’.
Setelah itu, Ferdy Sambo menyerahkan satu kotak peluru kepada terdakwa Richard sebagai tambahan amunisi senjata milik Richard.
“Bahwa sebagai bagian dari rencana merampas nyawa Yosua, Sambo menyampaikan kepada terdakwa soal peran dia hanya untuk menembak Yosua.”
“Sementara peran Sambo menjaga mereka dengan skenario telah melecehkan Putri Candrawathi sebagai Putri berteriak.”
Korban Yosua yang sudah dilucuti senjatanya, sambung jaksa, kemudian masuk ke rumah dinas Ferdy Sambo dengan diikuti oleh Ricky Rizal dan Kuat Maruf.
Di ruang tengah, Sambo lantas menarik leher dan mendorong Yosua sehingga berhadap-hadapan dengan Richard serta memerintahkan Yosua untuk jongkok.
Dalam posisi terjepit, Sambo memerintahkan Richard Eliezer menembak, kata jaksa.
“Tembak kau, tembak cepat.” ujar jaksa menirukan perintah Ferdy Sambo kepada terdakwa Richard Eliezer.
“Dengan tenang dan matang, terdakwa menembak sebanyak tiga kali sehingga menyebabkan Yosua terkapar bersimbah darah.”
“Untuk memastikan Yosua telah mati, Sambo maju ke arah Yosua yang tengah mengerang dan menembak Yosua di kepala bagian belakang sehingga mengakibatkan Yosua meninggal.”
Usai ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Yosua dan ditahan di Bareskrim Polri terdakwa Richard disebut masih bertahan sesuai skenario Ferdy Sambo.
Hingga pada 10 Agustus 2022 terdakwa mengajukan diri sebagai justice collaborator atau pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dari situlah terdakwa, menurut jaksa, berinisiatif menceritakan kejadian yang sebenarnya adalah bukan tembak menembak. Tapi penembakan yang dilakukan terdakwa bersama Ferdy Sambo terhadap Yosua.
Sehingga perkara ini bisa terungkap di persidangan, ujar jaksa.
Namun meski begitu, bagi jaksa, “tidak ditemukan dalam diri terdakwa yang bisa menghapus pertanggung jawaban terdakwa sehingga terdakwa harus dipidana”.
Putri Candrawathi dituntut delapan tahun penjara
Di hari yang sama, terdakwa Putri Candrawathi dituntut hukuman delapan tahun penjara karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan terencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Menurut Jaksa, Putri memiliki peran fisik dan terlibat dalam skenario tembak menembak yang menyebabkan perampasan nyawa korban Yosua.
Selain itu, Putri disebut jaksa tidak berupaya mencegah ataupun membantu korban Yosua agar terhindar dari penembakan. Padahal menurut jaksa, terdakwa memiliki waktu panjang untuk berpikir atas semua tindakannya dan mempunyai waktu panjang untuk memastikan akibat dari perbuatannya.
Dengan pengakuan dan perbuatan itu, jaksa menyebut terdakwa Putri secara sadar dan memiliki peran atas rencana jahat penembakan terhadap Yosua.
“Meminta majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara delapan tahun dipotong masa tahanan dengan perintah tetap ditahan,” ujar jaksa yang disambut sorakan pengunjung sidang.
“Menyatakan terdakwa Putri Candrawathi terbukti bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana yang diatur dan diancam dalam dakwaan pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.”
Jaksa menyebut hal yang memberatkan terdakwa, menurut jaksa, karena berbelit-belit menyampaikan kesaksian dan tidak menyesali perbuatannya serta membuat kegaduhan di masyarakat.
Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan dan belum pernah dihukum.
Menanggapi tuntutan jaksa itu, pengacara Putri Candrawathi meminta waktu selama satu minggu untuk menyampaikan nota pembelaan atau pledoi.
Jaksa: ‘Kesaksian Putri Candrawathi alami kekerasan seksual oleh Yosua janggal’
Dalam uraian surat tuntutan, jaksa penuntut menyebutkan dugaan adanya kekerasan seksual yang dialami terdakwa Putri Candrawathi bermula dari rumah pribadi milik Ferdy Sambo di Magelang pada 7 Juli 2022.
Saat itu, asisten rumah tangga bernama Susi bersama Kuat Maruf tiba-tiba mendengar Yosua membanting pintu kamar Putri. Selanjutnya Kuat meminta Susi mengecek istri Ferdy Sambo tersebut yang berada di lantai dua.
Sesampainya di atas, terlihat pintu dalam kondisi terbuka dan Putri terjatuh di kamar mandi dan duduk dalam kondisi lemas serta wajahnya pucat.
Putri lantas menerangkan bahwa dia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan Yosua.
Akan tetapi, menurut jaksa, alat bukti kekerasan seksual seperti yang diucapkan Putri disebut tidak cukup.
Selain itu sejumlah orang yang berada di rumah Magelang mengaku di persidangan tidak mengetahui dan tidak melihat bahwa Putri telah dilecehkan oleh Yosua.
“Berdasarkan fakta-fakta hukum justru menunjukkan keterangan Putri Candrawathi mengalami kekerasan seksual oleh Yosua adalah janggal dan tidak didukung alat bukti yang kuat seperti visum,” ujar jaksa.
Kemudian, sambung jaksa, jika dipandang dari teori relasi kuasa di mana Putri sebagai istri penegak hukum seorang Kadiv Propam dengan bintang dua, menjadi janggal kekerasan seksual benar terjadi dalam situasi rumah tersebut tidak besar dan berada di permukiman padat.
Kedua, saat kejadian itu situasi rumah tidak sepi dan ada asisten rumah tangga beserta para ajudan.
Ketiga, ada fakta Yosua merupakan ajudan yang terlatih dan sangat dipercaya menjalankan tugas salah satunya mengelola keuangan kebutuhan sehari-hari di rumah dinas di Jakarta.
Apalagi sebelum adanya tuduhan tersebut Putri, kata jaksa, “justru memanggil Yosua dan bertemu di kamar dalam durasi 10 menit yang substansi pembicaraan terdakwa menyampaikan pesan: ‘saya ampuni perbuatanmu yang keji tapi saya minta kamu resign’.
Kejanggalan lainnya menurut jaksa, Putri yang mengeklaim korban kekerasan seksual justru mengajak pergi Yosua untuk isolasi mandiri di tempat yang sama yakni di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta “tanpa memiliki trauma atau ketakutan sebagaimana korban kekerasan seksual umumnya”.
Di tambah lagi, sang suami yakni Ferdy Sambo malah tidak mempermasalahkan dan cuek atas apa yang terjadi pada istrinya, imbuh jaksa.
Hal lain berdasarkan hasil tes kebohongan atau tes poligraf, jawaban Putri yang mengatakan dia tidak berselingkuh “adalah kebohongan minus 25,” imbuh jaksa.
Itu mengapa jaksa menilai tuduhan peristiwa kekerasan seksual sebetulnya bagian dari skenario yang dibuat Putri Candrawathi untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya.
Apa peran Putri Candrawathi dalam pembunuhan Yosua?
Usai keributan yang terjadi di Magelang, kata jaksa, Putri Candrawathi memiliki kehendak untuk melucuti senjata milik Yosua dan hal tersebut dilakukan oleh ajudan lainnya bersama Ricky Rizal.
Di perjalanan dari Magelang menuju Jakarta, masih kata jaksa, Ricky ada niat untuk mencelakai atau membunuh Yosua yang sedang tertidur di perjalanan dengan cara menabrakkan mobil Lexus milik Sambo dari arah sisi kiri ke arah mobil lain.
“Apabila dihubungkan dengan seluruh rangkaian peristiwa dari Magelang-Saguling-Duren Tiga maka saling berkaitan yang berikan petunjuk adanya kehendak jahat Ricky untuk mendukung rencana Putri dan Sambo merampas nyawa Yosua sudah ada sejak dari perjalanan dari Magelang menuju ke Jakarta,” jelas jaksa.
Jaksa juga menyampaikan dalam perjalanan pula, skenario tembak-menembak sudah dirancang oleh Sambo dan Putri. Mulai dari rencana melakukan tes Covid yang berubah-ubah dari awalnya di rumah pribadi Sambo di Jalan Bangka, Jakarta Selatan berganti ke rumah pribadi di Jalan Saguling, Mampang.
Setibanya di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta, Putri Candrawathi tetap tidak mengembalikan senjata dinas Yosua. Bahkan memerintahkan Richard Eliezer untuk menyimpan senjata itu di ruang khusus di lantai tiga.
Di lantai itu pula, Putri disebut ikut mendengar rencana suaminya yang hendak merampas nyawa Yosua bersama Richard Eliezer dan Ricky Rizal.
Untuk menjalankan “skenario seolah-olah Putri akan dilecehkan Yosua sehingga terjadi tembak menembak, maka Putri yang sebelumnya datang dengan sweater dan celana leging, berganti penampilan seksi dengan ganti baju kemeja dan celana pendek”.
Di saat penembakan terjadi, Putri diketahui berada di dalam kamar, kata jaksa. Ia juga mendengar suara keributan dan bunyi letusan. Namun terdakwa disebut tidak ada keinginan keluar kamar.
“Terdakwa justru menutup telinga dan tidak bergerak keluar dan tanpa upaya mencegah dan upaya membantu korban agar terhindar dari penembakan,” jelas jaksa.
“Dari uraian di atas ada perbuatan terdakwa turut serta melaksanakan rencana jahat merampas nyawar orang lain dengan skenario tembak menembak.”
Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup
Sebelumnya Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup oleh jaksa dalam kasus pembunuhan Yosua.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (17/01), jaksa penuntut umum menyatakan Ferdy Sambo “telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama.”
Sambo dinyatakan melanggar pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP.
Sambo juga dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindakan yang berakibat terganggunya sistem elektronik menjadi tidak bekerja secara bersama-sama sebagaimana mestinya.
Dalam hal ini dia dinyatakan melanggar pasal 49 junto pasal 33 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto pasal 5 5 ayat 1 ke satu KUHP.
Atas tuntutan itu, kuasa hukum Ferdy Sambo mengatakan akan menyampaikan “pledoi pribadi dari terdakwa maupun pledoi dari penasehat hukum”, kata salah satu penasehat hukumnya.
Majelis hakim memberikan waktu satu minggu untuk pihak Sambo menyusun pledoinya.
Bagaimana awal mula kasus?
Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pertama kali terungkap pada Senin, 11 Juli 2022, ketika Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membenarkan kabar yang beredar.
Waktu itu tersebar informasi telah terjadi baku tembak antar polisi di kawasan Duren Tiga, Mampang, Jakarta Selatan.
Padahal baku tembak yang menewaskan Yosua itu terjadi pada Jumat 8 Juli 2022.
Keesokan harinya, Polres Metro Jakarta Selatan menjelaskan peristiwa tersebut. Kapolres, Kombes Budhi Herdi Susianto—yang sekarang dinonaktifkan akibat kasus ini—mengungkap ada dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Yosua kepada istri Sambo dalam baku tembak itu.
Keterangan Kombes Budhi berbeda dengan keterangan Brigjen Ahmad sebelumnya, yang tidak menyebut dugaan pelecehan seksual. Namun, polisi mengatakan itu bukan berbeda, tapi “update” atau pembaruan dari yang sudah ada.
Kematian Yosua mengundang tanda tanya pihak keluarga karena menurut mereka keterangan polisi memiliki banyak kejanggalan, mulai dari kontak keluarga yang diblokir oleh Yosua sampai kondisi jenazah Yosua yang lebam dan dipenuhi luka.
“Kami butuh penjelasan, kalau memang anak kami salah, ya, berikan buktinya,” kata Samuel, ayah Yosua, dikutip dari Kompas.com, 12 Juli 2022.
Pada 9 Agustus 2022, Ferdy Sambo—dan tiga orang lainnya—ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Yosua. Pengumuman tersangka itu diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Kegigihan keluarga meminta penjelasan atas kematian Yosua dinilai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur menjadi salah satu alasan kasus ini terangkat ke publik dan diusut secara terang benderang.
“Kalau keluarga korban sejak awal tidak membongkar ini, tidak akan terjadi apa-apa sebenarnya. Keluarga korban tidak berhasil diintimidasi, tidak berhasil dikendalikan oleh brigjen-brigjen itu [yang mendatangi keluarga korban],” kata Isnur kepada BBC News Indonesia, 10 Agustus 2022 lalu.
Kontroversi di balik kasus Sambo
Di hari ketika Ferdy Sambo diumumkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan ajudannya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengakui ada rekayasa dalam pengungkapan kasus itu.
Listyo mengakui kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam kasus pembunuhan Yosua, memunculkan ‘dugaan ada hal-hal yang ditutupi dan direkayasa’.
“Tim khusus telah melakukan pendalaman dan ditemukan adanya upaya-upaya untuk menghilangkan barang bukti, merekayasa, menghalangi proses penyidikan, sehingga proses penanganannya menjadi lambat,” kata Listyo.
Dia menegaskan tidak ada peristiwa tembak-menembak seperti yang dilaporkan sebelumnya.
Hasil temuan timsus menunjukkan yang terjadi sebenarnya adalah penembakan terhadap Yosua dilakukan oleh Brigadir Eliezer—ajudan Sambo— atas perintah Ferdy Sambo.
Selain soal baku tembak, isu pelecehan seksual, yang kemudian disebut perkosaan, menjadi sorotan lain dalam kasus ini.
Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, mengaku diperkosa oleh Yosua pada 7 Juli 2022 dan itulah yang mendasari pembunuhan Yosua.
Namun, pada 12 Agustus 2022, Bareskrim Polri menyetop kasus dugaan pelecehan seksual itu.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan keputusan itu diambil dari hasil pendalaman yang telah dilakykan.
Dugaan pelecehan seksual itu juga disebut-sebut sebagai upaya untuk mengaburkan kasus.
Tiga bulan setelah Yosua tewas dibunuh, Ferdy Sambo dan tersangka lainnya menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Senin 17 Oktober 2022.
Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri itu didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Selain itu, Sambo juga didakwa melakukan obstruction of justice dalam kasus pembunuhan berencana itu.
Fakta di persidangan
Selama persidangan, para saksi ahli mengungkapkan beberapa hal yang bisa meringankan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Yosua.
Para saksi itu antara lain ahli hukum pidana Universitas Andalas, Elwi Danil; ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mahrus Ali; dan ahli hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim.
Mereka menyinggung soal pasal dakwaan, pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Mahrus Ali menilai emosi yang dikatakan menjadi dorongan Sambo melakukan tindakan kejahatan menyebabkan kasusnya bukan termasuk pembunuhan berencana.
Para ahli juga membahas soal motif. Pengungkapan motif dinilai penting untuk pembuktian unsur kesengajaan, yang pada akhirnya bisa menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada pelaku.
Guru besar Universitas Andalas, Elwi Danil, juga membahas soal perintah Sambo yang salah ditafsirkan oleh Eliezer. Waktu itu Sambo memerintahkan Eliezer untuk menghajar Yosua, bukan menembaknya.
Menurut Elwi, jika orang yang digerakkan itu melakukan perbuatan melebihi apa yang dianjurkan, orang itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya, bukan yang memberi perintah.
Hal lainnya yang disinggung oleh para ahli adalah soal pendeteksi kebohongan yang dinilai tidak bisa dijadikan alat bukti dan kesaksian justice collaborator (JC) yang dikatakan tidak berbeda dengan kesaksian saksi lainnya.
Sementara itu, beberapa ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum, yang memberatkan Ferdy Sambo, meyakini terjadinya pembunuhan berencana dan meragukan terjadinya pelecehan seksual, seperti yang diakui oleh Putri Candrawathi, istri Sambo.
Ahli kriminologi Universitas Indonesia, Muhammad Mustofa, yakin pembunuhan yang dilakukan Sambo dan beberapa orang lainnya merupakan pembunuhan berencana.
“Dalam pembunuhan tidak berencana, biasanya pembunuhan merupakan reaksi seketika… Jadi tidak ada jeda waktu untuk berpikir untuk melakukan tindakan lain,” kata Mustofa, dikutip dari Kompas.com.
Perihal dugaan pelecehan seksual, itu juga diragukan saksi ahli, lantaran tidak ada bukti yang berupa bukti visum, dan hanya berdasar pada keterangan Putri.
Saksi lainnya juga menyinggung soal luka tembak yang ada di tubuh Yosua– yang berbeda dengan jumlah peluru yang ditemukan di TKP, lubang di masker, sampai lokasi perkara yang rusak.
Kesaksian sopir ambulans bernama Syahrul, yang menjelaskan kronologi saat dia membawa jenazah Yosua ke rumah sakit, juga dinilai menjadi salah satu kesaksian yang memberatkan Sambo.
Kesaksian yang menyudutkan Sambo, soal pembunuhan berencana, menilai keterangan itu sangat subyektif karena hanya menilai berdasarkan kronologi yang disampaikan penyidik kepolisian dan tidak melihat kronologi versi dirinya.
Sambo juga menuding penyidik kepolisian ingin menjerat semua orang yang ada di rumah dinasnya, pada saat kejadian itu, sebagai tersangka.
Sambo juga mengatakan pelecehan seksual terhadap istrinya benar-benar terjadi.
Tim penasihat hukum Ferdy Sambo juga menyerahkan 35 bukti berupa video, foto, dokumen, peraturan, putusan pengadilan yang terkait dengan pasal 338 dan 340 KUHP, sampai bukti terkait berita bohong yang beredar selama perjalanan kasus ini.
Setelah tiga bulan persidangan kasus pembunuhan Yosua digelar di PN Jaksel, jaksa penuntut umum menyatakan Ferdy Sambo “memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan” dalam kasus pembunuhan berencana maupun obstruction of justice.
Dalam dakwaan primair yang dibuat oleh jaksa, Ferdy Sambo didakwa melanggar pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP.
Jaksa menyatakan Ferdy Sambo melakukan dua tindak pidana yang berbeda, saling berhubungan, dan dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan sehingga jaksa menggabungkan perkara dalam satu dakwaan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana seumur hidup,” kata jaksa penuntut umum.
Dalam persidangan, jaksa mengatakan ada beberapa hal yang memberatkan Ferdy Sambo, yang menjadi pertimbangan tim jaksa menjatuhkan tuntutan hukuman pidana seumur hidup dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Pertama, perbuatan Sambo yang “mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dan duka yang mendalam bagi keluarga”.
Kedua, sikap Sambo yang “berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya” di persidangan juga menjadi pertimbangan sendiri bagi jaksa. Ketiga, perbuatan Ferdy Sambo menimbulkan “keresahan dan kegaduhan” di masyarakat.
Keempat, perbuatan Sambo dikatakan “tidak sepantasnya dilakukan dalam kedudukannya sebagai aparatur penegak hukum dan petinggi Polri”. Sambo dinilai “mencoreng institusi Polri” di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
Perbuatannya juga menyebabkan banyak anggota Polri lainnya ikut terlibat. (*)
Sumber : BBC.COM – Indonesia