Kemenkeu Dituding jadi Biang Keladi Seretnya Investasi Migas

BATAMXINWEN – Pemerintah diminta segera mengubah peraturan terkait biaya investasi migas setelah melihat peringkat investasi migas yang terus terpuruk beberapa tahun belakangan ini. Terlebih cadangan migas Indonesia pun tak terbilang banyak, sehingga pemerintah diminta tidak jual mahal dalam mengizinkan investor mengelolanya.

Mengutip data Global Petroleum Survey milik Fraser Institute, saat ini peringkat investasi migas Indonesia berada di peringkat 79 dari 96 negara. Meski angka itu lebih baik dari posisi tahun lalu di peringkat 81, namun posisi ini lebih lemah dibanding Malaysia, Filipina, bahkan Papua Nugini.

Selain itu, berdasarkan survei yang sama, Indonesia masuk ke dalam lima negara terbawah sebagai pemilik cadangan migas terbesar di dunia dengan cadangan hanya 23,01 miliar barel setara minyak (Billion Barrel Oil Equivalent/BBOE).

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Taslim Yunus menyebut, kebijakan pemerintah (fiscal terms) tentu berkorelasi dengan penemuan cadangan migas baru di Indonesia. Jika fiscal terms membaik, maka investor terangsang untuk melakukan eksplorasi. Sehingga, penemuan cadangan migas bisa meningkat.

Namun menurutnya, saat ini terdapat regulasi pemerintah yang dianggap memberatkan eksplorasi, yaitu biaya eksplorasi yang tidak bisa dikonsolidasikan ke biaya eksploitasi. Apalagi, jika eksplorasi gagal, maka beban tersebut menjadi tanggungan investor. Hal tersebut, lanjutnya, kerap dikeluhkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Ini dikeluhkan oleh KKKS. Tetapi karena kebijakan investasi kita seperti itu, sebetulnya tak bisa menggerakkan investor mencari discovery baru,” jelas Taslim, Selasa (31/1/2017).

Untuk itu, SKK Migas meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengatur konsolidasi biaya eksplorasi dan eksploitasi agar KKKS tergerak mencari cadangan baru. Apalagi, saat ini rasio keberhasilan eksplorasi Indonesia (succes rate) di bawah 40 persen dianggap kalah menarik di bawah negara tetangga.

“Bahkan mungkin di Asia Tenggara, Indonesia punya success rate lebih rendah dibanding Thailand dan Malaysia,” jelasnya.

Aturan Perpajakan

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Goro Ekanto mengakui, lesunya nafsu KKKS dalam melakukan eksplorasi terkait dengan kebijakan perpajakan yang diterapkan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010. Di dalam beleid itu, pemerintah mencabut pembebasan perpajakan yang berkaitan dengan eksplorasi migas, yang umum disebut assume and discharge.

Menurut Goro, prinsip assume and discharge menimimalisasi risiko eksplorasi, sehingga KKKS sebenarnya kecewa ketika fasilitas fiskal itu dicabut. Hal tersebut menurutnya harus menjadi fokus Kemenkeu di dalam melakukan revisi PP Nomor 79 Tahun 2010.

Sampai sejauh ini, pemerintah berencana untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, PPN dalam negeri, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea masuk pada masa eksplorasi dan eksploitasi di dalam revisi PP Nomor 79 Tahun 2010. Namun menurutnya, saat ini pemerintah masih mencari formulasi yang tepat dalam mencari fasilitas fiskal pengganti assume and discharge.

“Kami sedang mencari instrumen bagaimana memberikan fasilitas fiskal yang setara dengan assume and discharge,” jelasnya di lokasi yang sama.

Menurut data SKK Migas, saat ini terdapat 284 WK migas yang aktif di Indonesia. Dari angka tersebut, sebanyak 85 WK merupakan blok eksploitasi dan 199 sisanya merupakan blok eksplorasi.

Regulator hulu migas itu juga mengatakan, investasi hulu migas tercatat sebesar US$12,01 miliar sepanjang tahun lalu. Angka ini lebih kecil 24,46 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar. (red/yus)

Sumber: CNNIndonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here