Melirik Prostitusi di Bawah Umur‎:Dijual Lewat Medsos, Tarif Short Time Rp 800 Ribu ‎

BATAMXINWEN.COM – ‎Rambutnya pirang diikat. Bibirnya merah mencolok menggunakan lipstick. Mengenakan dress pendek tanpa lengan, sebut saja namanya Dinda, duduk di sofa sambil menyilang kaki, penampilan gadis berkulit sawo matang ini seperti gadis dewasa, jumat(3/2/2017) malam di bilangan Bengkong.

Namun, di balik penampilannya, saat diajak bicara awak media, Dinda tak bisa menyembunyikan usianya yang masih belia, 17 tahun. ‎”Kalau shortime Rp 800 ribu,” kata Dinda pada Batamxinwen.com, menyebut tarifnya dengan suara manja dan wajah yang malu malu.

Bagi pria hidung belang, yang biasanya datang dari kalangan om om tajir, tidak mudah untuk bisa menikmati‎ tubuh mungil Dinda. Karena Dinda dan belasan bahkan puluhan gadis di bawah umur sepertinya, berada dalam sebuah jaringan yang tertutup rapat, yang diorganisir oleh gadis gadis muda berusia di atas duapuluhan tahun.

untuk bisa bertransaksi seksual dengan gadis belia seperti Dinda, ‎pria hidung belang tidak pernah bisa berhubungan langsung dengannya. Dinda pun tak pernah secara terbuka menjajakan dirinya.

“Lewat kak An atau bang Po (menyebut nama seorang gadis dan seorang pemuda),” katanya. ‎

Melalui dua mucikari yang disebut Dinda itulah, Dinda‎ baru bisa diboking setelah tarif shortime disepakati.

Juga tidak mudah untuk bisa memboking gadis di bawah umur seperti Dinda dari dua mucaikari ini. Mereka sangat selektif memilih calon pelanggannya. Tidak bisa hanya dengan sekali pertemuan saja, dan calon pelanggan tidak bertemu langsung dengan calon gadis yang akan dibokingnya dipertemuan pertama.

“Biasanya, pertama kali, kami ditawarkan melalui foto kami di facebook,” ujar Dinda.

Diduga dalam mencari pelanggan, An dan Po biasanya terjun langsung ke tempat hiburan malam seperti diskotik. Di sana lah, An dan Po mendekati om om tajir asal luar kota maupun asal Batam, dan pria pria paruh baya asal Singapura berkantong tebal, yang sengaja datang ke Batam‎ untuk bersenang senang menikmati wisata seksual di Batam.

Awalnya, ‎An dan Po hanya menawarkan gadis gadis seperti Dinda pada om om tajir itu, untuk sekedar menemaninya berjoget di hall diskotik maupun di ruangan KTV.

“Kalau hanya menemani joget saja, tarifnya Rp 400 ribu,” kata Dinda.

Nah, setelah menemani joget, ketika birahi om om tajir memuncak, barulah An dan Po mulai menawarkan ‎jasa seksual Dinda.

Jika tawaran disetujui, An dan Po pun memiliki syarat. Yaitu, om tajir yang memboking Dinda, harus terlebih dahulu memesan kamar hotel dan menunggu di sana. Dinda akan diantar oleh Po atau An ke kamar hotel yang sudah disepakati. Selama transaksi seksual berlangsung, An atau Po akan menunggu di luar kamar hotel sampai Dinda selesai melaksanakan tugasnya memuaskan hasrat bisrahi si om tajir.

Usai “bekerja” dan mendapat bayaran, Dinda langsung dijemput di depan pintu kamar hotel. Dari Rp 800 ribu hasil kerja seks itu, Dinda wajib memberi bagian pada An atau Po, berkisar Rp 100 sampai Rp 200 ribu.

Dalam seminggu, Dinda mengaku bisa sampai dua hingga tiga kali melakukan pekerjaannya itu. Menurut Dinda, gadis putus sekolah sejak di bangku SMP ini, dalam lingkungannya, sedikitnya ada belasan gadis seusianya yang sama sama nge-job seperti dirinya.

“Banyak juga yang masih sekolah,” katanya. “Rata rata masih duduk di bangku SMA,” tambahnya.

Apa yang membuat Dinda dan belasan ‎gadis seusianya terjun ke dunia prostitusi? Kebutuhan ekonomi selalu menjadi alasan utama. Kemampuan ekonomi orangtua mereka yang tidak berjalan seiring dengan kebutuhan gadis gadis ini.

Ya, seperi kebutuhan ‎gadis seusia mereka akan pakaian yang bagus dan bermerk agar dianggap modis dalam berpenampilan, kebutuhan akan gadget yang canggih sesuai perkembangan jaman di era di mana media sosial sudah masuk ke hampir seluruh lini kehidupan mereka.

Kebutuhan gadis seperti Dinda untuk nongkrong di cafe cafe. Semua itu butuh duit yang banyak. Yang tidak bisa mereka dapatkan dari meminta pada orangtua mereka.

Melihat fenomena prostitusi di bawah umur ini, membuat Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)‎, Ery Syahrial prihatin.

Menurut Ery, semua pihak terkait terutama orangtua yang memiliki peran paling besar dalam menanggulangi prostitusi anak, harus lebih responsif terhadap hal ini.

Ery juga menyayangkan peran Dinas Pariwisata‎ dalam pengawasannya terhadap hotel hotel yang ada di Batam, yang sering digunakan sebagai media transaksi seksual.

“Harusnya Dinas Pariwisata memperketat aturan keluar masuknya anak di bawah umur di hotel hotel untuk mencegah prostitusi anak,” ujarnya ditemui di mapolresta Barelang saat mendampingi sebuah kasus yang melibatkan anak, Jumat (3/02/2017).‎

Kata Ery, kurang responsifnya Dinas Pariwisata‎ itu, terungkap dalam Forum General Disccusion mengenai penanggulangan prostitusi anak beberapa waktu lalu, terungkap, “Kalau Dinas Pariwisata itu tidak paham betul bagaimana peran mereka dalam menanggulangi ini. Tapi, ke depan kita akan sama mencari solusi terbaik dalam hal ini,” katanya.(jkf)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here