Pertumbuhan Batam Seperti Berjalan di Tempat, ‘Tetangga’ Kian Melesat. Ini Penjelasannya

BATAMXINWEN.COM – Membandingkan kondisi Singapura, dan Johor di Malaysia dengan Batam di Indonesia dalam konteks kerja sama ekonomi Sijori, bagaikan langit dan bumi.

Sijori adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi yang diprakarsai oleh Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Konsep kerja sama ekonomi ini dibangun karena adanya kebutuhan komplementer antara ketiganya.

Namun, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang tinggi selama lebih dari dua puluh tahun, Singapura dan Johor justru menjadi wilayah yang sangat berkembang.

Sebaliknya dengan Batam, disebut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro, seperti berjalan di tempat untuk tidak dikatakan mandek karena berbagai masalah krusial yang tak kunjung diselesaikan.

Padahal, Batam sudah disiapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis industri sejak tahun 1970-an melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 41 Tahun 1973.

Kepres ini menyebut bahwa pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau sekarang dikenal dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Dalam rangka melaksanakan visi dan misi untuk mengembangkan kota ini, dibangun berbagai insfrastruktur modern berstandar internasional serta berbagai fasilitas lainnya, sehingga diharapkan mampu bersaing dengan kawasan serupa di Asia Pasifik.

Bahkan beberapa tahun belakangan telah digulirkan penerapan Free Trade Zone (FTZ) Batam bersama Bintan, dan Karimun yang mengacu pada UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

UU ini kemudian diubah beberapa kali melalui Peraturan Pemerintah Penggantu UU (Perpu), sehingga diundangkan menjadi UU Nomor 44 tahun 2007.

Dengan banyaknya regulasi khusus yang memayungi Batam menjadi KEK, seharusnya kawasan ini bisa melaju pesat mengalahkan pesaingnya Singapura, dan Johor dengan KEK Iskandar sebagai pendorong utamanya.

Namun, apa hendak dikata, pertumbuhan Batam justru kalah jauh dibanding keduanya. Sebagaimana dikemukakan Ketua DPP REI Batam Djaja Roeslim.

Menurut dia, Batam tersendat karena beberapa hal. Pertama inkonsistensi regulasi. Penerapan regulasi sering berubah-ubah, sementara yang sudah ada tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Kedua adalah pembagian kewenangan dalam hal perizinan. masih ada tumpang tindih antara BP Batam dan Pemerintah Kota (pemkot) Batam ditambah lagi dengan ketidakharmonisan hubungan antara keduanya,” beber Djaja kepada KompasProperti, Minggu (28/5/2017).

Terkait hal ini, Bernardus berpendapat senada. Menurut dia, dualisme ini sesuatu yang konyol, dan harus dihilangkan.

“Salah satunya harus punya visi menjalankan pengembangan kawasan dan komersial secara spesifik dengan baik,” kata Bernardus.

BP Batam, kata dia, harusnya dijadikan sebagai otoritas komersial seperti Iskandar Regional Development Authority (IRDA).

Masalah ketiga adalah panjang dan lamanya proses perizinan untuk investasi. Djaja menyebut lambatnya proses perizinan ini ada pada BP Batam.

Dengan kondisi saat ini, kata dia, Batam tak akan mampu melepas inferioritasnya dan melesat menjadi destinasi investasi pilihan.

Tak mengherankan dalam setahun terakhir, tidak ada investasi asing skala kakap yang hadir di Batam sebagaimana yang terjadi di Johor, lewat KEK Iskandar.

Catatan komitmen investasi kumulatif di KEK Iskandar sejak 2006 hingga kuartal I-2017 adalah senilai 227 miliar RM atau setara dengan Rp 706,6 triliun.

Dari jumlah komitmen investasi tersebut, yang sudah terealisasi adalah sebanyak 56 persen dalam berbagai proyek di sembilan sektor. Di antaranya manufaktur, perumahan, akomodasi, dan lain-lain.

Chief Executive IRDA Datuk Ismail Ibrahim menuturkan, target komitmen investasi hingga 2025 mendatang adalah sejumlah 383 miliar RM atau setara Rp 1.192 triliun.

“Kami optimistis target tersebut dapat tercapai. Kendati perekonomian global sedang melemah, namun pertumbuhan Iskandar sekitar 7 persen hingga 8 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan Nasional bahkan di seluruh regional Asia Tenggara,” tutur Ismail menjawab Kompas.com, Rabu (24/5/2017).

Djaja juga meragukan target realisasi investasi sejumlah 571 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 7,6 triliun tahun ini dapat tercapai.

“Sepanjang masalah-masalah tersebut tidak ditangani dengan baik, saya tidak yakin target tersebut akan tercapai,” tambah Djaja.

Seharusnya, BP Batam dan Pemkot Batam membangun bersama menciptakan iklim investasi kondusif.

Di antaranya, menurut Djaja, adalah kepastian dalam berinvestasi yang terdiri dari kepastian hukum akan lahan, kepastian nilai sewa lahan untuk jangka waktu 80 tahun, dan kepastian aturan lainnya.

Kemudian, BP Batam dan Pemko Batam harus menciptakan kemudahan dan kecepatan dalam pengurusan perizinan.

Selanjutnya, melakukan penyederhanaan perizinan yang saat ini terlalu banyak kompnen yang harus diurus sehingga prosesnya panjang dan biaya tinggi.

“Berikutnya adalah penerapan tarif yang bersaing mulai dari tarif sewa lahan, tarif pelabuhan, tarif air, listrik dan lain sebagainya,” cetus Djaja.(iman atb)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here