BATAMXINWEN.COM, Belakangpadang — Satu jam lagi adzan dzuhur. Suhat (38), warga Kampung Jawa, Belakangpadang, yang kesehariannya menggantungkan nasib dapurnya di roda becak miliknya itu mulai gelisah. Artinya, sebentar lagi ia harus pulang untuk bersuci, dan bergegas ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat (27/1/2017).
Kegelisahan di wajah Suhat juga tersirat di belasan tukang becak lainnya, yang sama sama menunggu dihampiri rejeki berujud penumpang, yang kian hari kian langka di depan pertokoan di ujung pelantar Pelabuhan Kuning Belakangpadang, pangkalan mereka.
Kegelisahan Suhat, dan para tukang becak itu, berasal dari satu hal yang sama. ” Dari pagi tadi sampai sekarang, belum ada yang dapat penumpang,” kata Suhat sambil melirik ke deretan teman sesama tukang becaknya duduk berderet di lantai pelataran toko.
Itu sama saja dengan jika hari ini, priuk nasi mereka terancam tak berisi pauk apalagi lauk. Entah jawaban apa yang mereka beri pada istri dan anak sepulang mereka petang hingga larut malam nanti.
Di zaman yang melahirkan kendaraan bermesin bernama motor dengan populasi tak terbendung, serta segala kemudahan membeli, bahkan hanya dengan uang Rp 500 ribu saja, pembeli secara kredit sudah bisa memboyong motor baru, membuat peran becak sebagai alat transportasi tradisional makin tersingkir.
Juga tak terbantah, jika kebutuhan pengguna transportasi umum akan waktu yang lebih singkat dalam menempuh perjalanan, menjadi salah satu faktor yang ikut menyingkirkan peran transportasi tradisional yang di propinsi ini, Kepri hanya ada di Belakangpadang.
Dari pangkalan becak, jarak tiga menit mengendarai sepeda sepeda motor, di sebuah bengkel berukuran sekitar 4 x 3 meter yang berada di Kampung Jawa, sejarah kehadiran becak dan masa gemilang mendulang uang bagi penarik becak tertutur.
Di dalam bengkel yang penuh sesak berbagai macam perkakas dan onderdil becak, Yusup (55), pria berkulit sawo matang dan berkacamata, sedang sibuk menyetel jari jari pelek becak yang bengkok. Sambil bercerita menjawab pertanyaan sejumlah pertanyaan BATAMXINWEN.COM matanya tak beralih menatap jari jari yang sedang ia setel.
“Dulu, 35 tahun yang lalu, penghasilan tukang becak setiap bulan, 15 kali lebih besar dari pada gaji PNS,” kata Yusup mengenang.
Menurut Yusup, becak sebagai satu satunya transportasi umum yang jadi andalan di Belakangpadang dimulai sejak tahun 1982 hingga puncak masa kejayaannya tahun 1992. Penghasilan tukang becak dalam rentang tahun itu rata rata Rp 12 ribu perhari, sementara gaji seorang PNS satu bulannya masih sebesar Rp 24 ribu.
Dari mengayuh becak, para tukang becak bisa membangun rumah yang besar, mampu menyekolahkan anak anaknya hingga ke tingkat perguruan tinggi. “Dan, setahun sekali mereka juga bisa pulang kampung bersama keluarga,” kata Yusup.
Apa kisah becak kayuh, transportasi yang umumnya di kenal berasal dari daerah jawa itu sampai ke Belakangpadang? “Becak pertama itu dibuat oleh Ramidi (62), perantau asal Banyumas, Jawa Tengah,” ujar Yusup.
Becak pertama di Belakangpadang dibuat sendiri oleh Ramidi di tahun 1982. Bahan baku seperti pelek dan ban, pedal sertai rantai dan gear, untuk membuat becak semua ia pesan dari Tanjungpinang. Sementara besi swbagai bahan rangka becak dari Batam. Yang sulit didapatkan Ramidi saat itu adalah per untuk roda becak, dan harus dipesan dari daerah jawa. “Saya masih ingat warna becaknya. Merah kombinasi putih,” kenang Yusup.
Oleh Ramidi, becak buatannya itu ia gunakan sebagai mata pencarian sehari hari. Waktu itu, becak punya masa depan sangat bagus. Ongkos naik becak dari pasar ke mana saja di Belakangpadang waktu itu Rp 200 – Rp 500. Ketila itu, tidak seperti sekarang, becak tidak menunggu penumpangnya. Tapi penumpang yang menunggu becak kosong tak berpenumpang yang melintas.
Beberapa bulan kemudian sejumlah warga Belakangpadang mengikuti jejak Ramidi. Dalam dua kali pengiriman, sedikitnya 14 unit becak yang dalam keadaan onderdil dipreteli, dikirim dari jawa untuk dijadikan alat transportasi umum.
Dengan jumlah becak yang hanya belasan, seorang warga Belakangpadang akhirnya membuat becak dalam jumlah banyak dan menjadikannya bisnis transportasi saat itu.
Yusup yang juga pandai membuat becak menerima borongan pesanan becak sebanyak 48 unit di tahun 1985. Dan sejumlah warga belakangpadang yang pulang mudik ke jawa, membawa oleh oleh dari kampungnya berupa becak. “Sampai akhir tahun 1992, jumlah becak mencapai170 unit,” jelasnya.
Karena jumlahnya yang sudah banyak dan menjadi transportasi umum di masa itu, setiap becak pun harus terdaftar di pihak kepolisian saat itu dan wajib menggunakan nomor polisi, dan memiliki plat nomor.
Hingga zaman pun mulai menelan becak satu persatu menjadi barang yang tak berharga dan menghasilkan lagi. Banyak becak dibiarkan pemiliknya menjadi rongsokan.
Menyadari itu, Yusup pun mengubah becak yang tadinya alat Tranportasi umum menjadi becak mini, yamng dijadikan transportasi hiburan di tempat wisata terkenal di Batam. Kawasan wisata Ocarina pernah membeli 26 becak mini buatan Yusup seharga 3,2 juta per unit. Bahkan, Dinas Pariwisata Kota Batam juga membeli 2 unit becaknya. Tidak cuma itu, Yusup juga pernah mendapat pesanan mebuat becak angkung untuk syuting sebuah film.
Kini, becak bersama pengayuhnya yang masih bertahan di Belakangpadang hanya tinggal 60 unit. Dengan tarif ongkos Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu, dengan pengguna jasa becak yang makin jarang, nasib para tukang becak kian tak menentu. Karena belum tentu dalam satu hari mereka bisa dapat satu penumpang saja.
Namun, rejeki datang saja. Dua tahun belakangan, sejak para guide tour memasukan Belakangpadang sebagai tujuan turis yang dibawanya, yang rata rata turis asal Korea, memberi harapan baru bagi tukan becak. “Mereka kalau datang pasti carter keliling naik becak. Ongkosnya Rp 50 ribu, ” kata Sono salah satu tukang becak yang masih bertahan. (jkf)